1. Arwana
Arwana Asia (Scleropages formosus), atau Siluk
Merah adalah salah satu spesies ikan air tawar
dari Asia Tenggara. Ikan ini memiliki badan yang panjang;
sirip dubur terletak jauh di belakang badan. Arwana Asia umumnya memiliki warna
keperak-perakan. Arwana Asia juga disebut "Ikan Naga" karena sering
dihubung-hubungkan dengan naga dari Mitologi
Tionghoa
Arwana Asia adalah spesies asli sungai-sungai di Asia
Tenggara khususnya Indonesia. Ada empat varietas warna yang terdapat di
lokasi:
Hijau, ditemukan di Indonesia, Vietnam, Birma, Thailand, dan Malaysia
Emas dengan ekor merah, ditemukan di Indonesia
Emas, ditemukan di Malaysia
Merah, ditemukan di Indonesia
Arwana Asia terdaftar dalam daftar spesies langka yang
berstatus "terancam punah" oleh IUCN tahun 2004 Jumlah spesies ini yang menurun
dikarenakan seringnya diperdagangkan karena nilainya yang tinggi sebagai ikanakuarium,
terutama oleh masyarakat Asia. Pengikut Feng Shui dapat
membayar harga yang mahal untuk seekor ikan ini.
2. Coelacanth
2. Coelacanth
ikan yang berkerabat dekat dengan ikan paru-paru ini
dianggap telah punah semenjak akhir Zaman Cretaceous, sekitar 65 juta tahun
yang silam. Sampai ketika seekor coelacanth hidup tertangkap oleh jaring hiu di muka kuala Sungai Chalumna,
Afrika Selatan pada bulan Desember tahun tersebut. Kapten kapal pukat yang
tertarik melihat ikan aneh tersebut, mengirimkannya ke museum di kota East London,
yang ketika itu dipimpin oleh Nn. Marjorie Courtney-Latimer. Seorang iktiologis (ahli ikan)
setempat, Dr. J.L.B. Smith kemudian mendeskripsi ikan tersebut dan menerbitkan
artikelnya di jurnal Nature pada tahun 1939. Ia memberi nama Latimeria
chalumnae kepada ikan jenis baru tersebut, untuk mengenang sang kurator
museum dan lokasi penemuan ikan itu.
, di hadapan Nn. Courtenay-Latimer, kurator museum East London .]] Pencarian lokasi tempat tinggal ikan purba
itu selama belasan tahun berikutnya kemudian mendapatkan perairan Kepulauan Komoro di Samudera
Hindia sebelah barat sebagai habitatnya, di mana beberapa ratus
individu diperkirakan hidup pada kedalaman laut lebih dari 150 m. Di luar
kepulauan itu, sampai tahun 1990an beberapa individu juga tertangkap di
perairan Mozambique, Madagaskar,
dan juga Afrika Selatan. Namun semuanya masih dianggap sebagai bagian dari populasi yang
kurang lebih sama.
Pada tahun 1998, enampuluh tahun setelah ditemukannya fosil hidup
coelacanth Komoro, seekor ikan raja laut tertangkap jaringnelayan di
perairan Pulau Manado Tua,
Sulawesi Utara. Ikan ini sudah dikenal lama oleh para nelayan setempat, namun
belum diketahui keberadaannya di sana
oleh dunia ilmu pengetahuan. Ikan raja laut secara fisik mirip coelacanth
Komoro, dengan perbedaan pada warnanya. Yakni raja laut berwarna coklat,
sementara coelacanth Komoro berwarna biru baja.
Ikan raja laut tersebut kemudian dikirimkan kepada seorang
peneliti Amerika yang tinggal di Manado ,
Mark Erdmann, bersama dua koleganya, R.L. Caldwell dan Moh. Kasim Moosa dari LIPI. Penemuan ini
kemudian dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature.[1] Maka
kini orang mengetahui bahwa ada populasi coelacanth yang kedua, yang terpisah
menyeberangi Samudera Hindia dan pulau-pulau di Indonesia barat sejauh
kurang-lebih 10.000 km. Belakangan, berdasarkan analisis DNA-mitokondria dan isolasi populasi, beberapa
peneliti Indonesia dan Prancis mengusulkan ikan raja laut sebagai spesies baru Latimeria
menadoensis.
Dua tahun kemudian ditemukan pula sekelompok coelacanth yang
hidup di perairan Kawasan Lindung Laut (Marine Protected Areas) St. Lucia di
Afrika Selatan. Orang kemudian menyadari bahwa kemungkinan masih terdapat
populasi-populasi coelacanth yang lain di dunia, termasuk pula di bagian lain
Nusantara, mengingat bahwa ikan ini hidup terisolir di kedalaman laut, terutama
di sekitar pulau-pulau vulkanik. Hingga saat ini status taksonomi coelacanth
yang baru ini masih diperdebatkan.
Pada bulan Mei 2007,
seorang nelayan Indonesia
menangkap seekor coelacanth di lepas pantai Provinsi Sulawesi Utara. Ikan ini
memiliki ukuran sepanjang 131 centimeter dengan berat 51 kg ketika ditangkap
3. Komodo
Komodo, atau yang selengkapnya disebut biawak komodo (Varanus
komodoensis[1]),
adalah spesies kadal terbesar
di dunia yang hidup di pulau Komodo,Rinca, Flores, Gili Motang,
dan Gili
Dasami di Nusa Tenggara.[2] Biawak
ini oleh penduduk asli pulau Komodo juga disebut dengan nama setempat ora.[3]
Termasuk anggota famili biawak Varanidae, dan klad Toxicofera,
komodo merupakan kadal terbesar di dunia, dengan rata-rata panjang 2-3 m. Ukurannya yang
besar ini berhubungan dengan gejala gigantisme
pulau, yakni kecenderungan meraksasanya tubuh hewan-hewan tertentu yang
hidup di pulau kecil terkait dengan tidak adanyamamalia karnivora di
pulau tempat hidup komodo, dan laju metabolisme komodo
yang kecil.[4][5] Karena
besar tubuhnya, kadal ini menduduki posisi predator puncak
yang mendominasi ekosistem tempatnya hidup.[6]
Komodo ditemukan oleh peneliti barat tahun 1910. Tubuhnya
yang besar dan reputasinya yang mengerikan membuat mereka populer di kebun
binatang. Habitat komodo di alam bebas telah menyusut akibat aktivitas manusia
dan karenanya IUCNmemasukkan
komodo sebagai spesies yang rentan terhadap
kepunahan. Biawak besar ini kini dilindungi di bawah peraturan pemerintah
Indonesia dan sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Komodo, didirikan untuk
melindungi mereka.
Buaya umumnya menghuni habitat perairan tawar seperti sungai, danau, rawa danlahan basah lainnya,
namun ada pula yang hidup di air payau seperti buaya muara.
Makanan utama buaya adalah hewan-hewan
bertulang belakang seperti bangsa ikan,reptil dan mamalia,
kadang-kadang juga memangsa moluska dan krustasea bergantung
pada spesiesnya. Buaya merupakan hewan purba, yang hanya sedikit berubah karena
evolusi semenjak zaman dinosaurus.
Dikenal pula beberapa nama daerah untuk menyebut buaya,
seperti misalnya buhaya; buhaya ; baya atau bajul ; bicokok , bekatak,
atau buaya katakuntuk menyebut buaya bertubuh kecil gemuk; senyulong, buaya
jolong-jolong , atau buaya julung-julung untuk
menyebut buaya ikan; buaya pandan, yakni buaya yang berwarna kehijauan; buaya
tembaga, buaya yang berwarna kuning kecoklatan; dan lain-lain.
Distrubition of crocodiles
Dalam bahasa
Inggris buaya dikenal sebagai crocodile. Nama ini berasal dari
penyebutan orang Yunani terhadap buaya yang mereka saksikan di Sungai Nil,krokodilos; kata
bentukan yang berakar dari kata kroko, yang berarti ‘batu kerikil’, dandeilos yang
berarti ‘cacing’ atau ‘orang’. Mereka menyebutnya ‘cacing bebatuan’ karena
mengamati kebiasaan buaya berjemur di tepian sungai yang berbatu-batu.
0 comments:
Post a Comment