Friday, September 28, 2012

Sejarah Agama Hindu di Bali




Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Bali tidak terlepas dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Demikian pula perkembangan agama Hindu di Indonesia merupakan kelanjutan dari perkembangan agama hindu di India. Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Indonesia, berdasarkan bukti-bukti sejarah telah tiba pada abad ke 4 dan 5 masehi, terutama di Kalimantan Timur ( Pada beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja Mulawarman dan di Jawa Barat oleh raja Purnawarman) yang datang dari India Selatan. Selanjutnya perkembangan agama Hindu di Jawa Tengah di tandai dengan pendirian ”lingga” oleh raja Sanjaya pada tahun 732 Masehi yang dikenal sebagai pendiri dinasti Mataram Kuno. Sejak berdirinya kerajaan dari dinasti Sanjaya yang disusul dengan dinasti Sailendra di Jawa Tengah, terjadi pula perkembangan Hinduisme di Jawa Timur (berdasarkan prasasti Dinoyo, Malang) dan di Bali. Di Bali sejarah dan perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan di Pejeng berbahasa Sansekerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya di duga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Budha yang dikenal dengan ” Ye te mantra”, yang diperkirakan barasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata ” Sivas.......ddh.......” yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu kemungkinan ketika utuh berbunyi : ”Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad ke-8, Paksa ( Sampradaya atau sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali. Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu. Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu Hindhuisme (sekta Siva Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke 2-8 Masehi. Bukti lain yang merupakan awal penyebaran Hinduisme di Bali adalah ditemukannya arca Siva di Pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siva Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Kintamani, menunjukan kemungkinan telah terjadi Sinkretisme antara Siva dan Budha di Bali dan bila kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama, yakni Hinduisme. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara Sivaisme dan Buddhaisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakan diri pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmedeva, karena kedua agama tersebut menjadi agama negara.
Disamping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi bernama Markandeya. Maharsi Markandeya datang ke pulau Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian. Daerah yang dituju pada mulanya adalah daerah kaki gunung Agung, kemudian pindah menuju ke arah barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu ( lima Jenis logam ) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (1957), maha rsi Markandeya ini yang mengajarkan agama siva di Bali dan mendirikan pura Wasuki ( Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan pura Besakih saat ini.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Tatiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat diselamatkan dan di pindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di Pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di Jawa Timur pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata perkembangan awal kedatangan agama Hindu ( Sivaisme) dan Buddha (Mahayana) hampir pada saat bersamaan dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh ke dalam agama Hindu seperti di warisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan di tandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapria Dharma Patni. Pada ,masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali kuno digantikan dengan bahasa Jawa kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali kuno ini terakhir dengan pemerintahan raja Astasura-Ratnabumibanten yang ditundukkan oleh ekspediri Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada.
Pada masa Bali kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan abad ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat senapati Kutura (semacam perdana menteri) yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari : Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali disebutkannya 6 sekta (disebut sad agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahmana, Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Diantara seluruh sekta tersebut, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain : Bhuvanakosa, Vrhaspatitatva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Pada saat Senapati Kuturan dijabat oleh mpu Rajakerta (kini lebih populer disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh Sekta tersebut dikristisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama, (Pakraman) atau desa adat Adat di Bali hingga kini. Frgmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.
Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di bawah hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit di transfer ke Bali bahkan di dalam kitab Negarakertagama disebutkan ”Bhumi Bali i sacara lawan Bhumi Jawa” yang menunjukan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem Baturenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang Nirartha (Dwijendra) sangat berperanan. Saat itu kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang dominan, disamping diakui pula eksistensi Buddhaisme (dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya Mpu Mustika) yang hingga kini, walaupun disebut sebagai Hinduisme atau agama Hindu ( Hindu Dharma), unsur-unsur ketiga sekta tersebut masih dapat diamati.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahkan kehidupan agama Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan karakteristik Hindu Dharma yang universal sejak awalnya tetap di pertahankan diaplikasikan dalam kehidupan nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran tri Hita Karana, yakni hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi serta lingkungannya. 

0 comments:

Post a Comment