Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Bali tidak terlepas
dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Demikian pula perkembangan agama
Hindu di Indonesia merupakan kelanjutan dari perkembangan agama hindu di India.
Sejarah dan perkembangan Hinduisme di Indonesia, berdasarkan bukti-bukti
sejarah telah tiba pada abad ke 4 dan 5 masehi, terutama di Kalimantan Timur (
Pada beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh raja Mulawarman dan di Jawa Barat
oleh raja Purnawarman) yang datang dari India Selatan. Selanjutnya perkembangan
agama Hindu di Jawa Tengah di tandai dengan pendirian ”lingga” oleh raja
Sanjaya pada tahun 732 Masehi yang dikenal sebagai pendiri dinasti Mataram
Kuno. Sejak berdirinya kerajaan dari dinasti Sanjaya yang disusul dengan
dinasti Sailendra di Jawa Tengah, terjadi pula perkembangan Hinduisme di Jawa
Timur (berdasarkan prasasti Dinoyo, Malang) dan di Bali. Di Bali sejarah dan
perkembangan agama Hindu diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi,
karena pada abad ke-8 telah dijumpai fragmen-fragmen prasasti yang didapatkan
di Pejeng berbahasa Sansekerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya di duga
sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Budha yang dikenal dengan
” Ye te mantra”, yang diperkirakan barasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris
pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata ” Sivas.......ddh.......” yang
oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang sudah haus itu
kemungkinan ketika utuh berbunyi : ”Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad
ke-8, Paksa ( Sampradaya atau sekta) Siva Siddhanta telah berkembang di Bali.
Sampai ditulisnya sebuah prasasti tentunya menunjukkan agama itu telah
berkembang secara meluas dan mendalam diyakini oleh raja dan rakyat saat itu.
Meluas dan mendalamnya ajaran agama dianut oleh raja dan rakyat tentunya
melalui proses yang cukup panjang, oleh karena itu Hindhuisme (sekta Siva
Siddhanta) sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke 2-8 Masehi. Bukti
lain yang merupakan awal penyebaran Hinduisme di Bali adalah ditemukannya arca
Siva di Pura Putra Bhatara Desa di desa Bedaulu, Gianyar. Arca tersebut
merupakan satu tipe (style) dengan arca-arca Siva dari candi Dieng yang berasal
dari abad ke-8 yang menurut Stutterheim tergolong berasal dari periode seni
arca Hindu Bali.
Dalam prasasti Sukawana, Bangli yang memuat angka 882
Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siva
Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita membangun pertapaan di Kintamani, menunjukan
kemungkinan telah terjadi Sinkretisme antara Siva dan Budha di Bali dan bila
kita melihat akar perkembangannya kedua agama tersebut sesungguhnya berasal
dari pohon yang sama, yakni Hinduisme. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme
antara Sivaisme dan Buddhaisme di Bali sebenarnya diduga lebih menampakan diri
pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Varmedeva, karena kedua agama
tersebut menjadi agama negara.
Disamping itu secara tradisional disebutkan bahwa agama
Hindu dikembangkan oleh seorang maharsi bernama Markandeya. Maharsi Markandeya
datang ke pulau Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian. Daerah
yang dituju pada mulanya adalah daerah kaki gunung Agung, kemudian pindah
menuju ke arah barat dan tiba di desa Taro (Gianyar). Beliau menanam Panca Datu
( lima Jenis logam ) di pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit
Shastri (1957), maha rsi Markandeya ini yang mengajarkan agama siva di Bali dan
mendirikan pura Wasuki ( Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan
pura Besakih saat ini.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu ke Bali, pada abad
ke-8 juga dijumpai peninggalan-peninggalan yang menunjukan masuknya agama
Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana di Bali dapat diketahui
dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Tatiapi
dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di pura Penataran Sasih, Pejeng dapat
diselamatkan dan di pindahkan ke Museum Bali. Sekitar abad ke-13 Masehi, di Bali
berkembang pula sekta Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di
Pura Kebo Edan Pejeng. Sekta ini mungkin berkembang sebagai akibat adanya
hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di Jawa Timur pada masa
pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data sejarah tersebut, ternyata
perkembangan awal kedatangan agama Hindu ( Sivaisme) dan Buddha (Mahayana)
hampir pada saat bersamaan dan bahkan akhirnya agama Buddha Mahayana ini luluh
ke dalam agama Hindu seperti di warisi di Bali saat ini.
Pada masa Bali kuno merupakan masa tumbuh dan
berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10 dengan di
tandai oleh berkuasanya raja suami istri Dharma Udayana Varmadeva dan Gunapria
Dharma Patni. Pada ,masa pemerintahan raja ini terjadi proses Jawanisasi di
Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali kuno digantikan dengan bahasa Jawa
kuno dan susastra Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan
di Bali. Masa Bali kuno ini terakhir dengan pemerintahan raja Astasura-Ratnabumibanten
yang ditundukkan oleh ekspediri Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah
Mada.
Pada masa Bali kuno ini (antara abad ke-10 sampai dengan
abad ke-14) pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja
Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat senapati
Kutura (semacam perdana menteri) yang menata kehidupan keagamaan dengan baik
dan terwarisi hingga kini. Saat itu sekta-sekta yang berkembang di Bali, yang
menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya 9 sekta, yang terdiri dari :
Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi,
Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan dalam beberapa lontar di Bali
disebutkannya 6 sekta (disebut sad agama), yang terdiri dari Sambhu, Brahmana,
Indra, Bayu, Visnu dan Kala. Diantara seluruh sekta tersebut, rupanya yang
sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta
dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain : Bhuvanakosa,
Vrhaspatitatva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan
lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di
Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran
Siva Siddhanta.
Pada saat Senapati Kuturan dijabat oleh mpu Rajakerta (kini
lebih populer disebut dengan nama Mpu Kuturan) rupanya seluruh Sekta tersebut
dikristisasikan dalam pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa
Krama, (Pakraman) atau desa adat Adat di Bali hingga kini. Frgmen-fragmen
peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan
purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.
Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai
dengan 19 Masehi), di bawah hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi
Majapahit di transfer ke Bali bahkan di dalam kitab Negarakertagama disebutkan
”Bhumi Bali i sacara lawan Bhumi Jawa” yang menunjukan bahwa pengaruh Majapahit
demikian dominan di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem
Baturenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang Nirartha
(Dwijendra) sangat berperanan. Saat itu kehidupan agama diwarnai dengan
perkembangan Siwaisme yang dominan, disamping diakui pula eksistensi Buddhaisme
(dengan tokohnya Danghyang Astapaka) dan Vaisnava (dengan tokohnya Mpu Mustika)
yang hingga kini, walaupun disebut sebagai Hinduisme atau agama Hindu ( Hindu
Dharma), unsur-unsur ketiga sekta tersebut masih dapat diamati.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dijelaskan bahkan
kehidupan agama Hindu di Bali sudah berkembang sejak lama dan karakteristik
Hindu Dharma yang universal sejak awalnya tetap di pertahankan diaplikasikan
dalam kehidupan nyata yang dikenal di Bali dengan ajaran tri Hita Karana, yakni
hubungan yang harmoni dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama dan dengan bumi
serta lingkungannya.
0 comments:
Post a Comment